Desantralisasi Pendidikan


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Konsep dan Pengertian Desentralisasi Pendidikan
                        Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia ( Pasal 1 Ayat 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 ).
Ada beberapa konsep yang dikemukakan oleh para ahli tentang desentralisasi,   diantaranya :
1.      Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif atau administratif (Encyclopedia Of The Social Sciences, 1980).
2.      Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990).
3.      Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2000).
4.      Desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978).
5.      Pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah (Koswara, 1996).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-urusan tersebut.
Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah system menajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinnekaan. Menurut Santoso S. Hamijoyo (1999 : 3), ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peranserta masyarakat bukan hanya pada stakeholders, tetapi harus menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan; (4) pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; dan (5) keaneka ragaman aspirasi dan nilai serta norma lokal harus dihargai dalam kerangka dan demi penguatan sistem pendidikan nasional.
Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyarakat sangat diperlukan. Aparatur pendidi     kan baik di pusat maupun di daerah, berperan penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat untuk membangun pendidikan yang mandiri dan professional. Salah satu sasaran pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput ( grass root ) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
B.                 Kebijakan Desentralisasi Pendidikan dan Kendala Pelaksanaannya
Pemberlakuan UU Otonomi Daerah yang dimulai dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian disempurnakan dengan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan diserahkannya sejumlah kewenangan yang semula menjadi urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia, termasuk juga dalam aspek pendidikan.
Untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah yang perlu berkaitan dengan substansi manajemen pendidikan dan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a.            Masalah Kurikulum
Sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, sumber daya alam, dan bahkan sumber daya manusianya. Masing-massing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya.
Kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya. Oleh karena itu, pelaksanaan kurikulum untuk menunjang keberhasilan sebuah lembaga pendidikan harus ditunjang hal-hal sebagai berikut :
v  Tersedianya tenaga pengajar (guru) yang kompeten;
v  Tersedianya fasilitas fisik atau fasilitas belajar yang memadai dan menyenagkan;
v  Adanya tenaga penunjang pendidikan, seperti tenaga administrasi, pembimbing, pustakawan, laboran;
v  Tersedianya dana yang memadai;
v  Terpeliharanya budaya yang menunjang, seperti nilai-nilai religious, moral, kebangsaan dan lain-lain;
v  Kepeminpinan pendidikan yang visioner, transparan, dan akuntabel.
Kurikulum kelembagaan pendidikan yang baik adalah kurikulum kelembagaan pendidikan yang berkembang dari dan untuk masyarakat, yaitu kelembagaan pendidikan yang bersandarkan pada komunitas masyarakat.
b.            Masalah Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi desentralisasi pendidikan. Banyak kekhawatiran dalam bidang kesiapan SDM ini, di antaranya belum terpenuhinya lapangan kerja dengan kemampuan sumber daya yang ada. Implementasi desentralisasi pendidikan masih menyimpan beberapa kendala seperti dalam pengangkatan pengelola pendidikan yang tidak memerhatikan latar belakang dan profesionalisme. Bagaimanapun sumber daya manusia yang kurang profesional akan menghambat pelaksanaan sistem pendidikan.
c.             Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia, dan dana juga merupakan salah satu syarat atau unsure yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikan nasional rendah karena dana yang tidak mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih terlalu rendah. Padahal kalau mau belajar dari bangsa-bangsa yang maju bagaimana mereka membangun, justru mereka berani “secara nekat” menempatkan anggaran untuk pembiayaan pendidikan melebihi keperluan-keperluan yang lain.
Sementara itu, dalam konteks pembiayaan, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan dialokasikan pada APBD. Terlihat jelas penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Dalam konteks ekonomi, pada dasarnya pendidikan merupakan investasi panjang yang hasilnya tidak bisa dilihat satu atau dua tahun, tetapi jauh  kedepan. Sebagai suatu investasi produktif, mestinya pembangunan pendidikan harus memperhitungkan dua konsep utama, yaitu biaya (cost) dan manfaat (benefit) pendidikan.
Sementara itu dalam bidang perlengkapan, sering sekali terjadi rebutan aset, dan umumnya aset departemen beralih menjadi asset provinsi.
d.            Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidikan antarkabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik menyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lain sebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
e.            Masalah Perundang-undangan
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk masa kini, selain telah memiliki perangkat pendukung perundang-undangan nasional, juga dihadapkan kepada sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi pendidikan di daerah, seperti tingkat perkembangan ekonomi, dan sosial budaya setiap daerah, tipe dan kualitas kematangan SDM yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan dunia industri, dan sebagainya.
Pengaturan otonomi daerah dalam bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenagan pemerintah pusat dan provinsi. Semua urusan pendidikan diluar kewenangan pemerintah pusat dan provinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota.
Dengan demikian, otonomi daerah bidang pendidikan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, tetapi juga dibebankan pada lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, kursus, dan sebagainya) sebagai penyelenggara pendidikan terdepan, dan dikontrol oleh stakeholders pendidikan (orang tua, tokoh masyarakat, yayasan pendidikan, dunia usaha dan industry, DPRD, LSM dan sebagainya yang mempunyai perhatian bidang pendidikan).
f.              Masalah Pembinaan dan Koordinasi
         UU Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya mengamanatkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan-pembinaan agar permasalahan yang muncul dapat diminimalisasi.
Disamping pembinaan, koordinasi juga sangat diperlukan bagi daerah, hal ini terutama untuk menghindari seperti terjadinya tumpang tindih program, gap antar daerah, dan sebagainya. Sayangnya, selama pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dan koordinasi ini semakin sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh adanya “gengsi” antar pejabat, yang biasanya bupati/walikota “enggan” selalu berkonsultasi dengan gubernur karena merasa bukan bawahan dan tidak memiliki hubungan hierarkis.
Pemerintah daerah belum menunjukkan penampilan dan cara kerja yang jelas, dan yang mereka lakukan masi pada pemanfaatan dana, bukan pada “academic activity”.

C.     Implikasi Umum Desentralisasi Pendidikan
Hakikat desentralisasi dan otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang yang disertai keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan sedemikian rupa sehingga pelayanan kepada masyarakat akan menjadi lebih baik, dan pembangunan daerah dapat lebih terarah serta optimal.
Menurut Mulyasa (2004 : 23), implikasi desentralisasi manajemen pendidikan adalah kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, perubahan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan efisiensi serta efektivitas dalam perencanaan dan dan pelaksanaan pada unit-unit kerja di daerah, kepegawaian yang menyangkut perubahan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang menekankan pada profesionalisme, serta perubahan-perubahan anggaran pembangunan pendidikan.
Implementasi otonomi pendidikan, disamping banyak memiliki sisi positifnya, perlu juga didasari oleh pelaku pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan akan membawa konsekuensi yang cukup berat, di antaranya sebagai berikut :
a)            Dalam Bidang Pemerintahan
Dalam bidang ini perlu terjadi pengaturan perimbangan kewenangan antara pusat dan daerah, dan masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya. Sebab, berhasil tidaknya pelaksanaan otonomi daerah paling tidak ditentukan 3 hal, yaitu : (1) adanya political will dan political commitment dari pemerintah pusat untuk benar-benar memberdayakan daerah; (2) adanya iktikad baik dari pemerintah dalam membantu keuangan daerah; dan (3) adanya perubahan perilaku elit lokal untuk dapat membangun daerah.
b)            Dalam Bidang Sosial Budaya
Keadaan Indonesia yang sangat kaya akan keragaman dan kulturnya, sebenarnya merupakan potensi yang luar biasa. Sayangnya selama pemerintahan Orde Baru potensi ini tidak dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya karena konsep keseragaman yang dijalankan pemerintahan yang sentralistik.
Dalam peningkatan mutu dan relevansi pendidikan pada dasarnya sangat diperlukan orientasi local yang bersifat kedaerahan, maupun kepentingan nasional dan bahkan harus memiliki perspektif global.
c)            Dalam Bidang Pembelajaran
Sekolah sebagai ujung tombak proses pendidikan, dimana guru dan siswa secara terus menerus melakukan kontak pendidikan dan pembelajaran., sebenarnya merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pembelajaran merupakan tugas utama disekolah, yang didalamnya terjadi proses pembelajaran, proses pelatihan, proses pembimbingan, dan proses penilaian. Guru harus terpanggil secara professional untuk menjalankan tugas tersebut secara integral. Dengan otonomi pendidikan ini para guru telah diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran tersebut secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik bisa berkembang sebagaimana yang diharapkan. Guru harus bersikap proaktif dan kreatif dalam pembelajaran, dan tidak hanya menunggu pperintah dan petunjuk dari atasan ataupun pemerintah.
d)            Anggaran Pendidikan
Persoalan anggaran pendidikan sekarang memang sangat menjadi sorotan dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, sebab meskipun paying hukum berupa undang-undang (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) sudah mengisyaratkan anggaran pendidikan dengan minimal 20% diluar gaji pada APBN dan APBD , tetapi tampaknya khususnya bagi pemerintah daerah masih terlihat ogah-ogahan untuk menganggarkan pendidikan sebesar itu. Dengan berbagai alasan, kendatipun mereka menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting, dalam sector penganggaran pendidikan bukan merupakan prioritas yang mesti mendapat perhatian utama.
e)            Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
Komite sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan disatuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah. Anggota-anggota sekolah terdiri dari kepala sekolah dan dewan guru, orang tua siswa dan masyarakat.
Dewan pendidikan adalah badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota.
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya. Posisi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Satuan Pendidikan, dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan yang berlaku.

D.    Desentralisasi Pendidikan dan Kewenangan Sekolah

Otonomi daerah di bidang pendidikan secara tegas telah dinyatakan dalam PP Nomor 25 tahun 2000 yang mengatur pembagian kewenangan pemerintah pusat dan propinsi. Pemeritah pusat hanya menangani penetapan standar kompetensi siswa, pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar nasional, penetapan standar materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan pendidikan, persyaratan penerimaan, perpindahan dan sertivikasi siswa, kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif. Untuk propinsi, kewenangan terbatas pada penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dari masyarakat minoritas, terbelakang dan tidak mampu, dan penyediaan bantuan pengadaan buku mata pelajaran pokok/modul pendidikan bagi siswa.
Semua urusan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan propinsi tersebut sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah daerah tingkat II. Ini berarti bahwa tugas dan beban PEMDA tingkat II dalam menangani layanan pendidikan amat besar dan berat terutama bagi daerah yang capacity building dan sumberdaya pendidikannya kurang. Karena itu, otonomi daerah bidang pendidikan bukan hanya ditujukan bagi daerah tingkat II tetapi juga dibebankan bagi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan terdepan dan dikontrol oleh stakeholders pendidikan (orangtua, tokoh masyarakat, dunia usaha dan industri, Dewan Perwakilan Rakyat, serta LSM pendidikan).
Sebagai Konsekuensi kebijakan ini, maka pelaksanaan konsepesi school-based Management (Manajemen Berbasis Sekolah) dan community-based education(pendidikan berbasis masyarakat) merupakan suatu keharusan dalam penyelenggaraan pendidikan dalam era otonomi daerah. School-based management sebagai konsepsi dasar manajemen pendidikan masa kini merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan dan kepercayaan yang luas lagi, sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah. Mencari, mengembangkan, dan mendayagunakan resources pendidikan yang tersedia, dan memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah yang bersangkutan. Sebagian besar sekolah swasta sebenarnya telah melaksanakan konsepsi ini walaupun sebagian dari mereka masih perlu meningkatkan diri dalam upaya mencapai produktivitas sekolah yang diinginkan.
Konsep peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah muncul dalam kerangka pendekatan manajemen berbasis sekolah. Pada hakekatnya MBS akan membawa kemajuan dalam dua area yang saling tergantung, yaitu, pertama, kemajuan program pendidikan dan pelayanan kepada siswa-orang tua, siswa dan masyarakat. Kedua, kualitas lingkungan kerja untuk semua anggota organisasi.
Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, misi, tujuan, sasaran, dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Keinerja sekolah akan sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah yang menyangkut pengembangan kurikulum. Namun demikian, dalam merumuskan kebijakan, sekolah mengacu kepada kebijakan pusat dan memperhatikan aspirasi yang berkembang dari local state melalui dewan sekolah (school council).
E.      Dewan Sekolah dan BP3
Upaya peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan mutu sekolah dikukuhkan dengan mencantumkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah dalam bagian ketiga pasal 56 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional.
Dasar hukum utama pembentukan Komite Sekolah untuk pertama kalinya adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Rumusan Propenas tentang pembentukan Komite Sekolah kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 yang merupakan acuan utama pembentukan Komite Sekolah. Disebutkan sebagai acuan karena pembentukan Komite Sekolah di berbagai satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Demikian pula sebutan Komite Sekolah dapat berbeda di setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan. Namun demikian ada prinsip yang harus difahami dalam pembentukan Komite Sekolah.Secara terinci pelaksanaan pasal 56 UU ini dijelaskan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002. Prinsip yang dimaksud adalah transparan, akuntabel dan demokratis.
Kita sudah lama mendengar istilah BP3 yang biasanya lembaga tersebut hanya terdiri dari para orang tua murid yang ada di sekolah tersebut. Dalam kurun waktu beberapa puluh tahun, BP3 belum berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini dikarenakan beberapa sebab:
v   BP3 dipersepsikan sebagian masyarakat sekolah terbatas pada pengumpulan dana pendidikan dari orang tua siswa
v   Belum optimalnya peran dan fungsi pengurus sesuai struktur BP3 yang ada
v   BP3 belum terlibat langsung merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan sekolah
v   Pendelegasian pengelolaan keuangan BP3 kepada pihak sekolah (Kepala Sekolah dan Guru), seharusnya dikelola oleh pengurus BP3 atau yang ditunjuk, tetapi bukan dari pihak sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar Kepala Sekolah dan Guru dapat berkonsentrasi penuh dalam pengembangan program pengembangan pembelajaran yang semakin berkualitas di sekolah.
v   Kurang tersosialisasi ketentuan mengenai peran dan fungsi BP3, sehingga pengurus BP3 mengalami kesulitan dalam mengembangkan programnya
v   Sekolah dan BP3 belum membangun budaya kemitraan yang khas untuk mencapai kulitas pelayanan kepada peserta didik yang bermuara pada kualitas hasil
Meskipun dalam acuan pembentukan Komite Sekolah dinyatakan bahwa BP3 atau majelis sekolah yang sudah ada dapat memperluas fungsi dan perannya menjadi komite sekolah, namun keanggotaan BP3 harus disesuaikan dengan struktur organisasi Komite Sekolah yang terdiri dari unsur masyarakat (orang tua/wali peserta didik; tokoh masyarakat; tokoh pendidikan; dunia usaha/industri; organisasi profesi tenaga kependidikan; wakil alumni; wakil peserta didik) dan unsur dewan guru atau pengurus yayasan. Di samping itu jumlah anggotanya harus dan minimal 9 orang.




0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesMusiczik.netfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Blog templatesFree Web Templates