BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Hukum keluarga yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
orangtua dan anak-anak, hubungan antara suami dan istri, serta hak-hak mengatur
harta benda perkawinan. Perkawinan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum
antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai istri.
Ikatan lahir ini merupakan hubungan formal yang bersifat nyata, baik bagi yang
mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Ikatan lahir ini
terjadi dengan adanya upacara perkawinan, yakni upacara akad nikah bagi yang
beragama Islam.
Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa
yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria
dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Dalam tahap
permulaan, ikatan batin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari
calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut Pasal 2 Ayat (1), perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Adapun
yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya, sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
2.2. Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dan fungsi keluarga ?
2. Apakah pengertian
hukum keluarga ?
3.Bagaimana
hukum keluarga menurut Islam ?
4. Bagaimana hukum
keluarga menurut KUHPer dan UU No. 1
1974 ?
2.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dan fungsi keluarga
2. Mengetahui pengertian hukum keluarga
3. Mengetahui hukum keluarga menurut Islam
4. Mengetahui hukum
keluarga menurut KUHPer dan UU No. 1
1974
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Fungsi Keluarga
Pada hakekatnya , suatu
keluarga itu terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak mereka. Dengan kata lain,
sebuah kelaurga terdiri dari seorang lelaki sebagai suami dan seorang perempuan
sebagai isteri beserta anak-anak mereka yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga
semacam ini disebut juga keluarga inti atau keluarga batih. Keluarga inti ini
berlangsung selama anak-anak mereka belum membentuk keluarga inti yang baru.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan keluarga ini adalah sekelompok manusia yang mempunyai hubungan
hubungan darah atau hubungan perkawinan, dan terjadi melalui perkawinan.
Cirri-ciri keluaraga bersifat universal. Artinya, ciri-ciri
tersebut dapat kita temukan dalam masyarakat apa saja, seperti berikut ini:
a.
keluarga yang terdiri dari orang-orang
yang bersatu karena ikatan perkawinan, darah atau adopsi.
b.
Keluarga yang para anggota
keluarganya biasanya hidup bersama dalam satu rumah tangga. Satu rumah tangga
itu kadang-kadang terdiri dari kakek, nenek, anak-anaknya, serta cucu-cucunya.
c.
Keluarga yang merupakan satu
kesatuan orang-orang yang berinteraksi dan saling komunikasi lebih mendalam,
yang memainkan peranan masing-masing sesuai dengan status yang dimiliki.
d.
Keluarga yang memperthankan
suatu kebudayaan umum yang lebih luas. Misalnya: keludayaan keluaga Batak sama
dengan kebudayaan Batak pada umumnya.
Pada dasarnya, fungsi darpada membentuk
suatu keluaraga itu antara lain dapat disimpulkan sebagai berilkut:
a.
Untuk melanjutkan keturunan
sebagai kelanjutan identitas keluarga.
b.
sebagai wadah dalam memlihara,
mendidik dan meengasuh anak, baik secara fisik maupun psikis.
c.
Sebagai unit ekonomi, terutama
dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sandang , papan, dan beberapa materi lainnya.
d.
sebagai wadah pendidikan
informal, baik umum maupun agama.
e.
tempat terselenggaranya
transisi kebudayaan dan kekerabatan dai generasi ke generasi.
f.
sebagai wadah untuk meletakkan
dasar-dasar sosialisasi dan kontrol sosial.
2.2 Pengertian Hukum
Keluarga
Adapaun
pengertian hokum keluarga menurut para sarjana hukum antara lain adalah sebagai
berikut:
e.
menurut prof. Mr. Dr. L.J. van
Apeldoorn, Hukum keluarga (familiericht)
adalah peraturan hubungan hukum yang timbul dari hungan kelarga.
f.
Menurut Prof. Soediman
Kartohadiprodjo, SH., hokum keluarga adalah kesemuanya kaidah-kaidah hokum yang
menentukan syarat-syarat dan caranya
mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibatnya.
g.
Menurut Prof. Ali Afandi, SH.,
hokum kelurga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan
hokum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan
2.3 Hukum Keluarga Menurut
Islam
a. Keturunan
1)
Anak sah
a.
Pengertian anak sah
Menurut pasal 99 kompilasi Hukum
Islam, anak yang sah adalah:
v Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
v Hasil pembuahan suami- isteri
yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
b.
Penyangkalan anak sah
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang
isterinya tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an (Pasal 101 KHI). Suami yang akan
mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360
hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
c.
Pembuktian anak sah
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila akta kelahiran atau alat bukti
lainnya tersebut tidak ada, maka pengadilan agama dapat mengelurakan penetapan
tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama
tersebut, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hokum Pengadilan
Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang
bersangkutan(Pasal 103 KHI).
2)
Anak luar kawin
Menurut
Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dengan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI).
b. Kekuasaan Orang Tua
3)
Kekuasaan orang tua terhadap
diri si anak
Semua
biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya
telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang
berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Penyusuan dilakukan
paling lama 2 tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun
dengan persetujuan ayah dan ibunya (Pasal 104 KHI).
Batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Orangtuanya
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hokum di dalam dan di luar
pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menenuaikan kewajiban tersebut
apabila kedua orangtuanya tidak mampu.(Pasal 98 KHI).
4)
Kekuasaan orang tua terhadap
harta kekayaan anak
Orang
tua berkewajiban meraat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya,
kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak
itu menghendaki atau suatu kenyataan
yang tidak dapat dihindarkan lagi. Orang tua bertangj awab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut.(Pasal 106
KHI).
c. Perwalian
5)
Pengertian perwalian
Perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hokum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orangtua, atau orang tua masih hidup tidak cakap melakukan
perbuatan hokum (Pasal 1 h KHI).
6)
Anak di bawah perwalian
Perwlian
hanya terhadap anak yang belum mencapai
umuir 21 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga
anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur
dan berkelakuan baik, atu badan hokum(Pasal108 KHI).
7)
Kewajiban seorang wali
Dalam
Pasal 110-111 Kompilasi Kuum Islam disebutkan, bahwa seorang wali:
Berkewajiban mengurus diri dan
harta orang yang berada di bawah perwliannya dengan sebaik-baiknya.
Berkewajiban memberikan bimbingan
agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di
bawah perwliannya.
Dilarang mengikatkan, membebani
dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila
perbuatan tesebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwliannya
atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
Bertanggung jawab terhadap harta
orang yang berada di bawah peraliannya, dan mengganti kerugian yang timbul
sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Berkewajiban menyerahkan seluruh
harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah
mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
8)
Berakhirnya hak perwalian
Pengadilan
Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya keapda pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak
dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliaannya ( Pasal 109 KHI).
2.4 Hukum Keluarga
Menurut KUHPer dan UU No. 1 1974
a. Keturunan
1) Anak sah
a.
Pengertian anak sah
Dalam
prinsip menurut KUHper, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Sedangkan menurut pasal 42
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
b.
Penyangkalan anak sah
v Menurut KUHper
Menurut pasal 250 KUHper,
tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan ,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya, kepada suami diberi
hak penyangkalan anak sah, yaitu:
Ø Menurut pasal 251 KUHper, seorang anak yang dilahirkan sebelum 180 hari terhitung sejak tanggal
perkawinan, maka si suami boleh menyangkal
anak tersebut, tetapi penyangkalan ini boleh dilakukan dalam hal:
Ø Menurut pasal 252 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat membuktikan bahwa ia
sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum
lahirnya anak tidak terjadi hubungan kelamin dengan isterinya. Dalam hal ini, si suami harus membuktikan bahwa ia bukan
bapak anak itu.
Ø Menurut menurut pasal 253 KUHPer, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang anak dengan alas an
isterinya telah berzinah dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran
anak itu di sembunyikan.
Ø Menurut Pasal 254 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak, yang dilahirkan 300 hari
setelah keputusan perpisah meja dan tempat tidur memperoleh kekeuatan hukum.
Apabila
penyangkalannya di kabulkannya, maka anak tersebut disebut anak diluar kawian atau anak tidak sah.
v Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/ tidaknya anak atas permintaan piahak yang
berkepentingan (Pasal 44 UUP).
c.
Pembuktian anak sah
v Menurut KUHPer
Menrut pasal
255 KUHPer, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan dibubarkan adalah
tidak sah. Menurut KUHPer, seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
Ø Akte kelahiran anak yang dibukukan dalam register catatan sipil
(Pasal 261 ayat 1 KUHPer).
Ø Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang
sah (pasal 261 ayat 2 KUHPer).
Ø Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan atau
dugaan-dugaan atau petunjuk-petunjuk tersimpul dai peristiwa-peristiwa yang
tidak dapat disangkal lagi kebenarannya(Pasal 264 KUHPer).
Selanjutnya
pasal 262 KUHPer, penikmatan akan kedudukan anak sah itu dapat dibuktikan
dengan memperlihatkan suatu pertalian, seperti:selalu memakai nama sibapak,
diperlakukan sebagai anak dalam pendidikan, pemeliharaan dan penghidupan, serta
masyarakat selalu mengakuinya sebagai anak si bapak.
v Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang. Bila akte kelahiran tersebut tidak ada, maka pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-buti yang memenuhi syarat.
2) Anak
luar kawin
v Pengertian anak luar kawin
Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan
sebagai akibat hubungan pria dan wanita diluar perkawinan yang sah, dimana
diantara mereka tidak terkena larangan kawin atau tidak sedang terikat
perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin tidak mempunnyai hubungan perdata
dengan orangtuanya. Menurut pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunnya
dan keluarga ibunya..
v Peningaktan status anak luar kawin
Status anak
luar kawindapat ditingkatkan dengan cara berikut:
Ø Dengan cara pengakuan anak
Ø Dengan cara pengesahan anak.
3) Anak
sumbang
Yang
dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah., dimana diantara mereka dilarang untuk melangsungkan perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan pasal 283 KUHPer, anak sumbang tidak bisa diakui.
Apabila orang tua dari anak sumbang
memperoleh dispensasi(dari pengadilan) untuk melangsungkan perkawinan, maka
sianak sumbang dapat diakui pada saat perkawinan kedua orangtuanya. Dengan
demikian, dengan perkawinan keduaorangtuanya tersebut, maka si anak sumbang
demi hokum menjadi anak sah karena perkawian kedua orangtuanya.(Pasal 273
KUHPer).
4) Anak
zinah
Yang
dimaksud dengan anak zinah disni adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat
hubungan pria dan wanita diluar perkawinan yang sah dimana salah satu atau
kedua-duanya sedang terikat dalam perkawinan denga pihak lain. Sesuai dengan
ketentuan pasal 283 KUHPer, anak zinah tidak dapat diakui dan tidak ada upaya hokum untuk peningkatan
statusnya.
b.
Kekuasaan Orang Tua
1)
Kekuasaan orang tua terhadap
diri si anak
a.
Menurut KUHPer
Seorang
anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, belum berada di bawah
kekuasaan orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan
perkawinan(Pasal 299 KUHPer). Apabila perkawinan bubar (karena
meninggal/cerai), maka kekuasaan orangtua berubah menjadi perwalian. Menurut
pasal 300 KUHPer, kekuasaan orangtua ini biasanya dilakukan oleh si ayah. Hanya
saja apabila si ayah tidak mampu untuk melakukannya(misalnya karena sakit
keras, sakit ingatan, keadaan tidak hadir ), kekuasaan itu dilkukan oleh
istenya.
Orangtua
wajib memelihara dan mendidik semua anak-anaknya. Kewajiban ini tetap berlaku
jika mereka kehilangan hak untuk melakukan kekuasaan orangtua atau hak menjadi
wali(pasal 298 ayat 2 KUHPer). Orangtua, meskipun mereka itu tidak mempunyai
kekuasaan orangtua(dalam hal terjadi perceraian perkawinan), wajib memberi
tunjangan bagi pemeliharaan dan penghidupan anak-anak mereka (Pasal 301
KUHPer).
b.
Menurut UU No.1 Tahun 1974
Menurut Pasal 41 UUP, bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Menurut
Pasal 45 UUP, kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Selanjutnya menurut pasal 46 UUP ditegaskan, bahwa anak wajib
menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara
menurut kemampuannya, orangtua dan kelaurga dalam garis lurus keatas bila
mereka itu memerlukan bantuannya. Menurut Pasal 47 UUP, anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah
kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orangtua
mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hokum di dalam dan di luar
pengadilan.
2)
Kekuasaan orang tua terhadap
harta kekayaan si anak
a.
Menurut KUHPer
Harta benda anak yang belum dewasa
wajib diurus oleh oarangtuanya/pemangku kekuasaan orangtua (Pasal 307 KUHPer).
Orangtualah yang akan mewakli anak terhadap tindakan-tindakan hokum. Atas
pekerjaan orangtua tersebut, orangtua mempunyai hak nikmat hasil atas harta
benda anaknya (Pasal 311 KUHPer). Menurut pasal 313 KUHPer, pemegang kekuasaan
orangtua tidak berhak menikmati hasil harta kekayaan anak apabila terhadap:
v Barang yang diperoleh si anak karena kerja dan usaha sendiri.
v Hibah yang diterima si anak dengan ketentuan, bahwa kedua orang tua
tidak boleh menikmatinya.
Hak
nikmat hasil tidak dapat beralih kepada ahli waris, karena hak itu adalah
subyektif. Apabila orangtua hendak menjaminkan atau menjual harta benda anaknya
yang belum dewasa, maka oranguta harus memperoleh izin dari pengadilan(Pasal
309 KUHPer). Sedangkan menurut Pasal 319 KUHPer, orangtua anak-anak luar kawin
yang telah diakui, tak berhak atas nikmat hasil harta kekayaan anak. Hak nikmat
hasil berakhir dengan meninggalnya si anak(Pasal 314 KUHPer) .
b.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Orangtua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barag-barang tetap dimiliki anaknya yang
belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 UUP).
3)
Pembebasan dan pencabutan
kekuasaan orang tua
a.
Menurut KUHPer
Menurut
Pasal 319a KUHPer, seorang bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orangtua
dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut berdasarkan alasan ia tidak cakap atau
tidak mampu menunaikan kewajibannya
memelihara dan mendidik anak-anaknya. Selanjutnya menurut pasal ini, pembebasan
ini tidak boleh diperintahkan jika si pemangku kekuasaan orangtua mengadakan
perlawanan. Sedangkan apabila menurut menurut pertimbangan hakim kepentingan
anak menghendakinya, kekasaan orangtua dapat dicabut karena :
v Orangtua telah menyalahguanakan atau malalaikan kewajibannya sebagai
orangtua dalam memelihara dan mendidik anaknya.
v Berkelakuan buruk.
v Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan
mutlak, karena sengaja telah turut serta dalam suatu kejahatan terhadap seorang
anak belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
v Telah mendapat hukuman penjara selama 2 tahun atau lebih.
b.
Menurut UU No. 1 Tahun1974
Pasal 49 ayat (I) UUP menegaskan,
bahwa salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang
lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal
sebagai berikut:
v Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.\
v Ia berkelakuan buruk sekali
Selanjutnya menurut ayat (2)-nya,
meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewqajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. .
c.
Perwalian
1)
Pengertian perwalian
Menurut Prof. Subekti, perwalian
adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada di bawah
kekeuasaan orangtua serta pengurusan
benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Sedangkan menurut
Prof. Ali Afandi, perwalian(voodij) adalah pengawasan terhadap pribadi dan
pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak
berada di tanah kekuasaan orangtua. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa
yang dimaksud dengan perwalian itu adalah suatu upaya hokum untuk mengawasi dan
memelihara anak yatim-piatu atau anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah
kekuasaan orangtuanya.
2)
Anak dibawah perwalian
a.
Menuurt KUHPer
Dalam tiap perwalian, hanya ada satu
orang wali (Pasal 331 KUHPer). Anak yang berada dibawah perwalian adalah:
v Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaan sebagai orangtua.
v Anak sah yang orangtuanya telah bercerai.
v Anak sah ayng salah satu atu kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
v Anak yang lahir diluar perkawinan.
Disamping
itu, masing-masing orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua atau wali bagi
seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi seorang
anak-anaknya itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi
hokum ataupun karena penetapan hakim tisdak harus dilakukan oleh orang tua yang
lain. Pengangkatan dilakukan dengan wasiat atau dengan akta notaries (Pasal 355
ayat 1 dan 3 KUHPer).
b.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 50 UUP, anak yang
belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah kekuasaan wali.
Perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Menurut Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUP, wali dapat ditunjuk oleh satu orangtua
yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat
atau dengan lisan dihadapan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluaraga anak tersebut atau oaring lian yang sudah dewasa berpikiran sehat,
adil, jujur dan berkelakuan baik.
3)
Macam-macam perwalian
Mengenai perwalian ini, terdapat
bermacam-macam, yaitu antara lain:
a)
Wali orangtua yang hidup
terlama, yaitu apabila salah satu orangtua meninggal, maka perwalian terhadap
anak kawin yangbelum dewasa dilakukan oleh orangtua yang hidup terlama ( Pasal
345 KUHPer).
b)
Kawan wali, yaitu jika yang
menjadi wali itu si ibu dan ibi ini kawin lagi,
maka suaminya menjadi kawan wali (Pasal 351 KUHPer).
c)
Wali orangtua yang telah dewasa
atas anak luar kawin yang diakui (Pasal
353 KUHPer).
d)
Perwlian menurut wasiat, yaitu
wali yang diangkat berdasarkan surat wasiat orangtua anak tersebut (Pasal 355
KUHPer).
e)
Wali datif, yaitu wali yang
diangkat oleh penetapan pengadilan luar negeri
(Pasal 359 KUHPer).
f)
Perwalian badan hukum yang
diangkat oleh hakim (Pasal 365 KUHPer).
g)
Wali curator/ wali
pengampu atas anak sah dari orang yang
di bawah pengampuan (Pasal 453 KUHPer).
4)
Kewajiban seorang wali
a. Menurut KUHPer
Kewajiban-kewajiban
seorang wali menurut KUHPer antara lain adalah:
v Wajib mengurus harta kekayaan anak yang belum dewasa (Pasal 385 ayat
1 KUHPer).
v Wajib membuat atau menyuruh membuat perincian akan barag-barang
kekayaan anak yang dewasa (Pasal 386 ayat 1 KUHPer).
v Wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan terhadap pribadi anak yang belum dewasa sesuai dengan
harta kekayaannya, dan mewakilinya
dalam segala tindak perdata (Pasal 383 KUHPer).
v Tidak boleh menjual barang tak bergerak milik anak di bawah
perwaliannya dengan cara lain melainkan dengan lelang umum(Pasal 399 ayat 1 KUHPer).
v Tidak boleh menewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri barang-barang kekayaan si belum
dewasa, kecuali apabila pengadilan negeri
telah mengizinkan syatrat-syaratnya (Pasal 400 ayat 1 KUHPer).
v Wajib pada akhir perwaliannya mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup ( Pasal 409 KUHPer).
h.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 51 dan 52 UUP
disebutkan, bahwa seorang wali adalah:
v Wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
v Wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.
v Bertang jawab tentang harta benda anak yang ditimbulkan karena
kesalahan atau kelalaiannya.
v Tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki anak yang di bawah penguasaannya, kecuali apbila
kepentingan anak itu menghendakinya.
2)
Pembebasan dan pemecatan dari
perwalian
a.
Menururt KUHPer
v Pembebasan dari perwalian
Menurut pasal 379 KUHPer, orang
yang tidak dapat diangkat sebagai wali adalah: orang yang sakit ingatan, orang
yang belum dewasa, orang yang berada di bawah pengampuan, orang yang telah
dicabut kekuasaannya sebagi orangtua maupun sebagai wali, dan kepala serta
anggota-anggota Balai harta peninggalan, kecuali dari anak-anaknya sendiri.
Sedangkan menurut pasal 377 KUHPer, alasan-alasan seseorang menolak sebagai
wali adalah: I. Mereka yang dalam melakukan kepentingan Negara berada di luar Indonesia; II.
Anggota tentara dalam menunaikan tugasnya; III. Mereka yang telah berusia 60
tahun;IV. Mereka yang terganggu oleh sesuatu penyakit atau kesusahan yang
berat; V. Mereka yang sudah menjadi wali untuk seorang anak lain; VI. Mereka
yang pada hari pengankatan mempunyai 5 orang anak sah atau lebih; dan VII.
Seorang perempuan yang sudah kawin.
v Pemecatan atau pencabutan kekuasaan perwalian
Menurut pasal 380 KUHPer, hakim
dapat memecat kekuasaan seorang wali apabila:I. Ia berkelakuan buruk; II. Ia
tidak cakap menenuaikan perwalian; III. Ia menyalah gunaakan kekusaan; IV. Ia
dalam keadaan pailit; V. ia berperkara dengan si anak yang belum dewasa; VI. Ia
mendapat hukuman karena suatu kejahatan terhadap si anak yang ada dalam
kekuasaannya;.
b) Menuurt
UU No. 1 Tahun1974
Wali dapat dicabut dari
kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang
di bawah penguasaannya dan ia berkelakuan buruk sekali. Dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali (Pasal
53 UUP). Wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang di
bawah kekuasaannya, atas tunututan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan
pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut (Pasal 54 UUP).
1) Mulai
dan berakhirnya hak perwalian
Menurut pasal 331a KUHPer,
perwlian mulai berlaku apabila:
b.
Jika seorang wali diangkat oleh
hakim.
c.
Jika seorang wali diangkat oleh
salah satu dari kedua orangtua .
d.
Jika seorang perempuan bersuami
diangkat menjadi wali, baik oleh hakim
maupun oleh salah satu dari kedua orangtua.
e.
Jika suatu perhimpunan, yayasan
atau lembaga anak diangkat menjadi wali.
f.
Jika seorang menjadi wali
karena hukum.
Menurut ketentuan pasal 331 b KUHPer,
hak perwalian berakhir apabila:
a)
Diangkat wali lainnya.
b)
Anak yang belum dewasa setelah
berada di bawah perwalian, dikembalikan kedalam kekuasaan orangtuanya.
c)
Anak luar kawin yang belum dewasa
yang telah diakui oleh undang,undang, disahkan pada saat berlangsungnya
perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak
itu atau saat pemberian surat-surat pengesahan.
h)
Sistem Kekerabatan .
2) Pengertian
sistem kekrabatan
Sitem kekerabatan adalah serangkaian
aturan yang mengatur penggolongan orang-orang sekerabat. Hal ini mencakup
berbagai tingkat hak dan kewajiban di antara orang-orang sekerabat yang
membedakan hubungan mereka dengan orang-orang yang tidak tergolongsebagai
kerabat.
3)
Kekeluargaan sedarah
Yang dimaksud dengan kekluargaan
sedarah adalah suatu pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu
adalah keurunan yang lain atau semua yang mempunyai nenek moyang yang sama.
Tiap-tiap kelahiran dinamakan derajat (Pasal 290 KUHPer). Sedangkan menurut
Prof. Ali Afanda, kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai keluruhuran yang sama.
Urutan penderajatan merupakan garis
yang disebut garis lurus ialah urutan perderajatan antara mereka, yang mana
yang satu adalah keturunan yang lain. Garis menyimpang ialah urutan
perderajatan antara mereka yang mana yang satu bukanlah keturunan yang lain,
melainkan mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291 KUHPer). Menurut pasal
292 KUHPer, garis lurus dipisahkan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Garis lurus ke atas, yaitu
hubungan antara seseorang, dan sekalian mereka yang menurunkan dia.
b.
Garis lurus kebawah, yaitu
hubungan antara nenek moyang dan sekalian keturunannya.
4)
Kekeluargaan semenda
Yang dimaksud dengan kekeluargaan
semenda adalah suatu pertalian keluarga yang di akibatkan karena perkawinan,
ialah sesuatu antara seseorang diantara suami –isteri dan para keluarga sedarah
dari yang lain (Pasal 295 ayat 1 KUHPer). Jadi, hubungan keluarga karena
semenda adalah pertalian kelurga yang terjadi karena perkawinan seseorang
dengan keluarga si suami atau si isteri (hubungan saudara periparan).
Walaupun demikian menurut Pasal 295
ayat(2) KUHPer, tiada kekeluargaan semenda antara para keluarga sedarah si
suami dan keluarga si isteri tidak terdapat hubungan semenda. Perderajatan
kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama dengan perderajatan
pertalian kelurga sedarah diukurnya (Pasal 296 KUHPer). Dengan bubarnya suatu
perkawinan, maka kekluargaan semenda adalah bekas suami atau isteri dan para
kelurga lainnya, tidak dihapuskan (Pasal 297 KUPer).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada
hakekatnya , suatu keluarga itu terdiri dari bapak, ibu, dan anak-anak mereka.
Dengan kata lain, sebuah kelaurga terdiri dari seorang lelaki sebagai suami dan
seorang perempuan sebagai isteri beserta anak-anak mereka yang tinggal dalam
satu rumah. Keluarga semacam ini disebut juga keluarga inti atau keluarga
batih. Keluarga inti ini berlangsung selama anak-anak mereka belum membentuk
keluarga inti yang baru. Dengan demikian, yang dimaksud dengan keluarga ini
adalah sekelompok manusia yang mempunyai
hubungan hubungan darah atau hubungan perkawinan, dan terjadi melalui
perkawinan.
fungsi
daripada membentuk suatu keluaraga itu antara lain dapat disimpulkan sebagai
berilkut:
a.
Untuk melanjutkan keturunan
sebagai kelanjutan identitas keluarga.
b.
sebagai wadah dalam memlihara,
mendidik dan meengasuh anak, baik secara fisik maupun
psikis.
c.
Sebagai unit ekonomi, terutama
dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sandang , papan,
dan beberapa materi lainnya.
d.
sebagai wadah pendidikan
informal, baik umum maupun agama.
e.
tempat terselenggaranya
transisi kebudayaan dan kekerabatan dai generasi kegenerasi.
f.
sebagai wadah untuk meletakkan
dasar-dasar sosialisasi dan kontrol sosial
DAFTAR PUSTAKA
P.N.H. Simanjuntak, SH.1999. Pokok-pokok Hukum Perdata.
Djambatan:Jakarta